18 Maret 2011

MULTI GRADE TEACHING, SOLUSI KEKURANGAN GURU INDONESIA

Menteri Pendidikan Nasional, M Nuh menyatakan bahwa berdasarkan pemetaan Kementerian Pendidikan Nasional, Indonesia hingga 2014 membutuhkan tambahan guru sebanyak 300 ribu orang.  Namun, dengan mekanisme yang ada, dengan komposisi 1:24 (1 guru mengajar 24 siswa), maka kebutuhan tersebut turun menjadi 180 ribu guru.  Sedang bila melakukan program multi grade, dimana guru bisa mengajar lebih dari satu mata pelajaran, maka kebutuhan guru tersebut menjadi 40 ribu orang.

Menurut Mendiknas, konsep multi grade bila dimanfaatkan dengan baik dengan penataan regulasi yang juga baik, akan menghasilkan efisiensi yang besar.  Pasalnya setiap guru diberi kewenangan mengajar sesuai dengan kelompok pelajaran yang dikuasainya.  Guru matemarika bisa mengajar fisika dan kimia. Ada pelajaran mayor dan ada pelajaran minor. ''Mayornya tetap satu, minornya bisa dua atau lebih,'' ungkap Mendiknas saat jumpa pers penutupan Rembuk Nasional Pendidikan, 18 Maret 2011 di Depok.

Konsep multi grade memungkinkan pemerintah menghemat anggaran miliaran rupiah.  Dana dari penghematan tersebut dapat digunakan untuk pengembangan guru, pemberiaan beasiswa dan penambahan fasilitas.

Konsep Pendidikan Multi Grade
Konsep multi grade dapat dikatakan sebagai model “Pembelajaran Rangkap Kelas (PRK)”. Konsep ini dapat menjawab masalah klasik pendidikan di negeri ini, khususnya masalah tidak meratanya distribusi guru, terutama di daerah terpencil.  Di mana keadaan memaksa guru mengajar lebih dari satu mata pelajaran bahkan mengajar lebih dari satu kelas.

Dari berbagai literatur yang ada, PRK tidak hanya terbatas di kalangan negara-negara yang sedang berkembang saja. Ternyata negara-negara maju juga ikut menerapkan model PRK karena memang menjadi kebutuhan. Beberapa negara maju yang menerapkan model PRK adalah Amerika Serikat, Australia, Finlandia, Inggris, Jepang, Jerman, dan Kanada. Penerapan model PRK pada umumnya lebih banyak dilakukan pada satuan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Jika demikian ini keadaannya, maka itu berarti bahwa banyak satuan pendidikan SD yang dikelola oleh jumlah guru yang sangat terbatas atau bahkan dikelola oleh hanya seorang guru (one-teacher school).

Ada beberapa model atau pola pembelajaran yang dapat dikembangkan dalam PRK tergantung pada situasi dan kondisi masing-masing daerah. Setidak-tidaknya, ada 5 model/pola PRK menurut Anwas M. Oos, yaitu: (1) seorang guru menghadapi siswa yang berada pada dua ruangan untuk dua tingkatan kelas yang berbeda, (2) seorang guru menghadapi siswa dalam tiga tingkatan kelas yang berbeda dalam dua ruangan kelas, (3) seorang guru menghadapi dua tingkatan kelas yang berbeda dalam satu ruangan, (4) seorang guru menghadapi tiga tingkatan kelas yang berbeda pada dua ruangan kelas, dan (5) seorang guru menghadapi tiga tingkatan kelas yang berbeda dalam satu ruangan kelas.

Di dalam proses belajar-mengajar model PRK yang dilaksanakan, para peserta didik dikondisikan sedemikian rupa agar mereka senantiasa aktif belajar dan khususnya belajar mandiri (independent learning), baik secara perseorangan maupun kelompok, tanpa harus sepenuhnya tergantung pada guru.

Salah satu pendekatan dalam PRK dan yang sekaligus juga merupakan karakteristik utama adalah adanya pemisahan atau segregasi. Guru membuat pemisahan yang jelas antara setiap tingkatan, setiap mata pelajaran, setiap kelompok anak yang berada di dalam kelas. Anak-anak yang termasuk ke dalam satu tingkatan diorganisasikan untuk berada dalam satu kelompok tersendiri. Sebagai contoh: anak-anak dari tingkatan/kelas 1 dan 2 duduk bersama membentuk satu kelompok. Demikian juga dengan anak-anak kelas 3 dan 4. Kemudian, guru akan mencoba menjelaskan satu mata pelajaran kepada masing-masing kelompok secara bergantian. Artinya, akan ada pelajaran matematika untuk kelas 4 dan pelajaran matematika untuk kelas 5 dan demikian selanjutnya.

Konsep PRK mengandung beberapa kriteria, yaitu: (a) adanya penggabungan siswa yang berasal dari 2 atau lebih tingkatan, (b) seorang guru ditugaskan untuk membelajarkan para siswa gabungan yang terdiri dari beberapa tingkatan, (c) seorang guru melaksanakan tugas-tugas mengajarnya kepada para siswa gabungan secara serempak, dan (d) siswa secara individual maupun di dalam kelompok (tingkatan) tetap dikondisikan oleh guru untuk tetap aktif belajar sekalipun guru sedang memberikan bimbingan kepada siswa tingkatan tertentu.

Prosentase jumlah SD yang menerapkan model PRK (terutama “Sekolah Satu Guru”) di beberapa negara adalah: (a) Peru (40%), (b) Northern Territory of Australia (40%), (c) Swedia (35%), (d) Zambia (26%), dan (e) Perancis (22%) (Little, 1995).

Pada sekolah yang menerapkan PRK, para guru mengajar 2 atau lebih tingkatan pada satu kelas. Pemerintah di beberapa negara mempromosikan sekolah-sekolah PRK untuk para peserta didik yang tinggal di daerah-daerah pedesaan dan terpencil dengan jumlah penduduknya yang jarang dan kurang beruntung (disadvantaged). Dengan menghadirkan/mendatangkan sekolah ke lingkungan anak-anak, maka Pemerintah mencoba mencari terobosan untuk (1) mengurangi kesenjangan pendidikan antara anak-anak di daerah perkotaan dan pedesaan serta (2) memberikan layanan pendidikan yang dapat diakses dengan mudah oleh anak-anak usia sekolah dalam rangka pelaksanaan Pendidikan Dasar Universal. Para guru yang akan ditempatkan pada sekolah-sekolah ragam kelas dibekali dengan pelatihan tentang cara-cara mengajarkan materi pelajaran yang berbeda kepada peserta didik yang berbeda namun berada pada satu kelas.

Model Sekolah Dasar yang menerapkan PRK di Jepang hanya diperkenankan untuk menggabungkan 2 tingkatan ke dalam satu kelas. Penggabungan 2 tingkatan ini dinilai masih relatif lebih mudah untuk dikelola oleh seorang guru. Kondisinya akan jauh lebih sulit lagi apabila Sekolah Dasar hanya dikelola oleh satu orang guru atau disebut dengan istilah “Sekolah Satu Guru” (one-teacher schools). Artinya, guru yang ada melaksanakan berbagai tugas, tidak hanya yang bersifat akademik atau pembelajaran tetapi juga yang sifatnya administratif.

Sehubungan dengan kebijakan pemerintah Jepang yang hanya memperkenankan penggabungan 2 tingkatan ke dalam satu kelas, maka untuk kepentingan kegiatan pembelajaran, dikemukakan oleh Takako Suzuki bahwa pemerintah mengembangkan kurikulum khusus yang siklusnya 2 tahunan yang didasarkan pada kebijakan kurikulum nasional yang bersifat umum. Pengembangan kurikulum yang akan digunakan oleh guru yang mengajar di kelas-kelas ragam tingkatan ini disesuaikan juga dengan kondisi lokal.

Sekalipun telah dibekali dengan kurikulum khusus yang dikembangkan untuk kepentingan pembelajaran siswa pada kelas gabungan, namun dikemukakan oleh Takaku Suzuki bahwa para guru masih belum mengubah strategi kegiatan belajar-mengajarnya. Mereka masih menerapkan strategi belajar-mengajar untuk kelas yang hanya satu tingkat (Suzuki, 2004).  Sedangkan di Vietnam, ukuran kelas pada SD yang menerapkan PRK hanya dapat menampung sekitar 20 anak. Seorang guru memberikan pelajaran yang berbeda pada waktu yang sama kepada peserta didik yang terdiri atas beberapa tingkatan yang berbeda. Sebagai contoh, ada satu kelas yang ditempati oleh 13 anak (3 wanita dan 10 pria) yang berasal dari 2 tingkatan/kelas dan di antara siswa ini hanya seorang anak yang berbeda tingkat/kelasnya. Pekerjaan ekstra yang diemban oleh para guru yang mengajar di sekolah ragam kelas/tingkatan mendapat tambahan gaji 50% jika hanya menangani 2 tingkatan peserta didik dan tambahan 75% bagi para guru yang bertanggungjawab atas 3 atau lebih tingkatan peserta didik (Pridmore, 2004).

Banyak model pembelajaran ragam kelas/tingkatan di Vietnam. Seorang guru dapat saja bertanggungjawab untuk membina 2 sampai 5 kelas yang berbeda. Sejauh ini, sekolah-sekolah ragam kelas/tingkatan menyebar luas di daerah-daerah etnis minoritas. Tujuannya adalah untuk menyediakan pendidikan dasar kepada anak-anak yang kurang beruntung dengan cara menghadirkan sekolah mendekat kepada masyarakat di tempat anak-anak tinggal. Ada sekitar 2.162 SD yang menerapkan model pembelajaran ragam kelas/tingkatan, atau sekitar 1,8% dari jumlah keseluruhan SD dengan jumlah peserta didik sekitar 143.693 anak atau sekitar 38% dari jumlah populasi usia sekolah (Vu, 2004).

Menurut Patricia Ames, Peru memiliki sekitar 21.500 SD yang menerapkan model PRK di mana sekitar 96% di antaranya terdapat di daerah-daerah pedesaan. Jumlah guru yang ditugaskan pada sekolah-sekolah ragam kelas/tingkatan ini sekitar 41.000 orang atau mewakili sekitar 69% dari total jumlah guru. Sebagian besar sekolah (89%) yang berada di pinggiran kota di Peru menerapkan model pembelajaran ragam kelas/tingkatan. Khusus mengenai “Sekolah Satu Guru”, menurut Tovar yang dikutip Patricia Ames mengemukakan bahwa di Peru terdapat sekitar 39% dan tersebar di daerah-daerah pedesaan (Ames, 1989).

Karakteristik yang sangat penting untuk dikemukakan yang mempengaruhi situasi pendidikan di Peru menurut Patrcia Ames adalah (a) persebaran dan keterpencilan populasi (dispersion and isolation) di pedesaan; (b) kemiskinan desa (60% penduduk yang tinggal di pedesaan adalah miskin dan 37% hidup pada suatu situasi yang sangat miskin; (c) ekonomi keluarga yang menuntut anak-anak anggota keluarga untuk bekerja; (d) perbedaan ragam budaya dan bahasa yang digunakan; dan (e) anak-anak di daerah pedesaan terlambat mengikuti pendidikan sekolah, tingkat mengulang kelas (repetition rate) yang tinggi dan seringnya terjadi gangguan tidak bersekolah. Kesemuanya ini semakin mewarnai variasi kelas-kelas ragam tingkatan (Ames, 2004).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bray mengenai Sekolah Dasar Kecil (Small Primary Schools) di Kalimantan Tengah dikemukakan bahwa terdapat 460 SD yang dikelola oleh 1 sampai dengan 3 orang guru (Bray, 1987). Bahan-bahan belajar yang digunakan oleh siswa dirancang secara khusus sehingga dapat dipelajari secara mandiri oleh siswa. Salah satu peluang yang terbuka dari ketersediaan bahan-bahan belajar yang bersifat mandiri adalah memungkinkan para sukarelawan orang dewasa untuk dapat membantu para siswa melakukan kegiatan pembelajarannya. Konsep Sekolah Dasar Kecil di berbagai literatur diidentikkan dengan sekolah dasar yang menerapkan model pembelajaran ragam kelas/ tingkatan.

Sedangkan berdasarkan data yang disajikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional tahun 1990 terdapat sekitar 12.000 SD yang dikelola oleh guru yang harus mengajar lebih dari satu kelas (BALITBANG DEPDIKNAS, 1990). Beberapa faktor yang menyebabkan Sekolah Dasar menerapkan Pembelajaran ragam kelas/tingkatan antara lain adalah: (1) kekurangan guru, (2) keterbatasan ruang kelas yang tersedia di SD, dan (3) kondisi geografis yang sulit transportasi (berbagai sumber).
 

Tidak ada komentar: