18 Maret 2011

Botol Susu Kandung BPA Perlu Dilarang di Indonesia

Larangan penggunaan botol susu plastik mengandung zat beracun Bisphenol A (BPA) sudah dilakukan di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Selendia Baru. Malaysia Maret 2012 akan menerapkan larangan tersebut, sementara China kelihatanya dalam waktu dekat juga akan menerapkan kebijakan yang sama. Kebijakan ini, sangat perlu untuk juga diterapkan di Indonesia. Namun entah kapan, Kementerian Kesehatan Indonesia akan tegas memberikan larangan tersebut.

Menurut Kementerian Kesehatan Malaysia, Liow Tiong Lai, seperti ditulis MediaIndonesia.com mengumumkan untuk melarang penjualan botol bayi mengandung BPA (zat kimia yang biasa digunakan untuk membuat plastik, terutama tempat makanan/minuman dan sering digunakan sebagai pembatas kaleng makanan.

Botol susu plastik, saat diisi dengan air panas, maka sekitar 3 sampai 7 miliar bisphenol tercampur dalam susu formula bayi, hal ini merugikan kesehatan bayi.  ''Peraturan ini untuk mencegah. Memang belum ada bukti, namun BPA dari hasil penelitian menyebabkan kelainan hormonal dan pertumbuhan, karena itu kami tidak berani mengambil risiko,'' ungkapnya.

Sementara itu, Maret 2009 lalu, debat berkepanjangan soal bahan kimia Bishpenol A akhirnya berujung, paling tidak di Amerika Serikat. Akhir pekan lalu, pembuat perundang-undangan di negeri tersebut mengumumkan larangan penggunaan bahan tersebut. Hal ini dilakukan setelah seminggu sebelumnya pejabat negeri itu mengumumkan 6 perusahaan besar pembuat botol susu bayi sepakat untuk menghilangkan kandungan BPA.

Ahli toksin dari National Institute of Health (NIH) tahun lalu mengungkapkan, bahan kimia tersebut bisa mempengaruhi perkembangan otak pada janin dan bayi yang baru lahir.  Sebelumnya, tercatat lebih dari 130 studi telah merujuk pada kaitan antara level rendah BPA dan problem kesehatan serius, seperti kanker payudara, obesitas, dan pubertas dini. Di luar itu, masih ada berbagai gangguan lain. Langkah Kongres ini pun membuat pabrik dan toko menarik semua produk dengan kandungan BPA dari pasar.

Langkah tegas ini sebenarnya sejalan dengan keputusan Pemerintah Kanada pada 2008 yang secara resmi menegaskan BPA mengandung bahan beracun dan mengumumkan rencana pelarangan untuk mengimpor maupun menjual botol-botol dengan kandungan bahan tersebut. Sebenarnya tak hanya studi lawas, studi terbaru pun terus mengaitkan bahaya Bisphenol A. Salah satu yang teranyar dilansir 28 Januari 2009, yang mempertegas ancamannya untuk kesehatan.

Dijabarkan dalam Environmental Health Perspectives, peneliti dari Universitas Rochester, New York, menyatakan Bisphenol A mengendap dalam tubuh lebih lama daripada yang diperkirakan sebelumnya. Para ahli kimia sebelumnya menyatakan kebanyakan jenis BPA dengan mudah mengalami proses metabolisme dan dibuang dari tubuh hanya dalam 30 menit. Peneliti juga mengungkapkan BPA sesungguhnya didapat dari berbagai sumber. "Penyebabnya tidak hanya dari produk wadah makanan atau karena tubuh tidak mampu memetabolisme bahan kimia itu secepat mungkin," Dr Richard W. Stahlhut, ketua penelitian.

Artinya, tak hanya wadah plastik yang harus dicermati. Makanan pun ternyata menjadi sumber BPA dan tubuh ternyata tak bisa mengikisnya dengan cepat. Kesimpulan ini ditarik setelah ilmuwan ini mengumpulkan data 1.469 orang. Tim peneliti mengecek kadar BPA dalam urine, setelah makan maupun sesudah puasa. Peneliti menemukan kadar BPA pada orang puasa lebih rendah daripada yang baru makan. Level BPA dalam tubuh juga berkurang lebih lamban hingga delapan kali lipat dibanding yang diperkirakan.

Alhasil, peneliti pun mencatat orang mungkin saja terpapar BPA yang terkandung dalam makanan. Sayang sekali, ia tidak memaparkan jenis sajiannya. Stahlhut menyebutkan memang BPA biasanya digunakan dalam pembuatan plastik untuk berbagai keperluan. Dari botol plastik yang biasa digunakan untuk kemasan minuman, pipa air, hingga wadah makanan. Selain itu, ada pada lapisan dalam kaleng makanan. "Bahkan, bisa ditemukan pada aneka kertas, termasuk kertas daur ulang," katanya.  Lalu, bayangkan yang diungkapkan oleh Fred vom Saal. Ahli biologi dari Universitas Missouri-Kolombia memperkirakan 8-9 miliar pound BPA diproduksi setiap tahunnya.

Studi teranyar ini bisa menjadi bahan renungan baru. Namun, yang pasti bagi Badan Pengawasan Makanan dan Obat-obatan (FDA), peraturan baru tersebut memberi kekuatan untuk menekan industri agar konsisten membuat produk tanpa BPA. Bahkan, badan ini menyarankan untuk pemberian label khusus pada wadah itu meski FDA dan mitranya di Eropa--Badan Pengawasan Makanan Eropa (EFSA)--sebelumnya pernah menyatakan  bahan kimia itu dalam jumlah tertentu seperti yang digunakan pada botol susu bayi tergolong aman.

Di Eropa, kebimbangan masih membayang. Tak mengherankan jika sebuah studi dari Universitas Exeter, Inggris, meski mengungkapkan kadar tinggi BPA membuat seseorang lebih mudah terserang penyakit jantung dan diabetes, sang peneliti tak berani melontarkan pernyataan lebih jauh. Dr Iain Lang, yang mengetuai studi, menyatakan, "Hal itu tidak cukup memberi bukti bagi kami untuk menyatakan kaitan yang erat. Kami hanya menunjukkan kondisi seperti itu."

Kontroversi memang masih berjalan di negeri Pangeran Charles ini. Steve Elliot, Ketua Asosiasi Industri Kimia, masih melontarkan hal sebaliknya. Dia menyatakan, sejumlah studi yang dilakukan di AS maupun Inggris tak memiliki cantolan kuat dengan sejumlah derita. "Sejumlah data, banyak riset, segudang contoh, tak satu pun pengujian yang menunjukkan risiko pada kesehatan manusia," ia menegaskan.

Apalagi, langkah enam perusahaan besar di Amerika Serikat tidak mendunia. Kelompok pengusaha ini hanya menghentikan pembuatan produk tanpa BPA untuk pemasaran di negerinya sendiri. Tidak untuk diimpor. Makanya, produk plus BPA masih akan dilempar ke pasar negeri lain, seperti Inggris. Alhasil, Belinda Phipps, pemimpin National Childbirth Trust, Inggris, beraksi keras. "Inilah saatnya perusahaan di Inggris mengikuti aturan serupa yang berlaku di Amerika dan Kanada."(disarikan dari Media Indonesia.com dan Tempointeraktif.com)

Tidak ada komentar: